Thursday, December 21, 2006

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF
(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)
MASALAH KEABSAHAN TASAWUF
Membicarakan keabsahan Tasawuf dapat mengisyaratkanpengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasiyang serius, karena menyangkut masalah sampai dimana kitabisa dan berhak menilai pengalaman keruhanian seseorang.Telah disinggung bahwa mistisisme atau pengalaman mistis,tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi, selalu mengarahkedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karenaitu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepadaorang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadisi empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanyatingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain,lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, denganpenuh pengertian, jika tidak malah kekaguman. Berbagaicerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti banyakterdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalahkelanjutan dari persepsi mistis ini. Karena itu, bagi mereka yang lebih melihat diri merekasebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkahlaku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikanyang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan ataubahkan tarikan syetan yang sesat. Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialahyang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yangmengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdatal-wujud). Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum,seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, penganut danpengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialahIbn 'Arabi. Dalam bukunya, Fushush al-Hikam, Ibn 'Arabiberdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" denganTuhan: Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya, dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya. Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya. Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya Maka mana mungkin Ia tiada perlu, padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya? Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku, sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya Begitulah, sabda telah datang kepada kita, dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14 Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthbal-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulamaSyari'ah sebagai yang paling bertanggungjawab ataspenyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yangterjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi para pengikutnyadia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung). Kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karyaIbn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnyasering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang(ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahamidalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini(ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metodepokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Sucimaupun Hadits Nabi. Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil merekasebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu.Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidakmemahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriahtekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaumSyari'ah. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk merekasebagai sesat, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyahterhadap Ibn Arabi. Tapi, dalam semangat empatik, mungkin justru pengalamanmistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalamankeagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'rajyang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga takterkomunikasikan, pengalaman mistis kaum Sufi punsesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untukmenggambarkannya. Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untukbisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanyaharus mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaanyang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidakmungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidakpernah mencicipinya sendiri. Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaanyang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi,ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayangoleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkansebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagianmereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yangmereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an" yangberarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu anla ilaha illa Llah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhanselain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapaintensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga mereka tidakmenyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada. Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanyasekali terjadi dalam hidup seorang, tanpa bisa diulangi.Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylatal-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebihbaik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satumomen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yangdibawa seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan ataudelapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalamanmistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat(transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budipekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intensesesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yangutuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yangmenimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatueuphoria yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis.Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoriaitu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti,dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu diri"(ma'rifat al-nafs)15 yang tidak lebih daripada seorangmakhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat (islam)kepada Sang Maha Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi,karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidakbanyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepasdari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena iamerasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temuidi mana saja melalui ibadat dan dzikir. Ia menghayatikehadiran Tuhan dalam hidupnya melalui apresiasi akannama-nama (kualitas-kualitas) Tuhan yang indah (al-asmaal-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhandan keseimbangan dirinya Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankankepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidupbermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakansuatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebutsebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak merekawujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuaidengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaqlahkamu semua dengan akhlaq Allah."
DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF
(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)
Akibatnya, polemik dan kontroversi antara keduanya pun tidakselamanya bisa dihindari. Ibn Taymiyyah, misalnya,melukiskan pertentangan antara orientasi eksoteris dari kaumfiqh dengan orientasi esoteris dari kaum sufi sebagai serupadengan pertentangan antara kaum Yahudi dan kaum Kristen.Dengan terlebih dahulu mengutip firman Allah yang artinya,"Kaum Yahudi berkata, 'Orang-orang Kristen itu tidak adaapa-apanya,' dan kaum Kristen berkata, 'Orang-orang Yahudiitu tidak ada apa-apanya'"5 Ibn Taymiyyah mengatakan: "Anda dapatkan bahwa banyak dari kaum Fiqh, jika melihat kaum Sufi dan orang-orang yang beribadat (melulu), akan memandang mereka ini tidak ada apa-apanya, dan tidak mereka perhitungkan kecuali sebagai orang-orang bodoh dan sesat, sedangkan dalam tarekat mereka itu tidak berpegang kepada ilmu serta kebenaran sedikit pun. Dan Anda juga dapatkan banyak dari kaum Sufi serta orang-orang yang menempuh hidup sebagai faqir tidak menganggap apa-apa kepada Syari'ah dan ilmu (hukum); bahkan mereka menganggap bahwa orang yang berpegang kepada Syari'ah dan ilmu (hukum) itu terputus dari Allah, dan bahwa para penganutnya tidak memiliki apa-apa yang bermanfaat di sisi Allah."6 Ibn Taymiyyah tidak bermaksud menyalahkan salah satu darikeduanya, juga tidak hendak merendahkan sufi, sekalipun ia,sebagai seorang penganut mazhab Hanbali, sangat beratberpegang kepada segi-segi eksoteris Islam seperti diwakilidalam Syari'ah. Karena itu, Ibn Taymiyyah mengatakan, "Yang benar ialah bahwa apa pun yang berdasarkan Kitab dan Sunnah pada kedua belah pihak itu adalah benar. Dan apa pun yang bertentangan dengan Kitab Sunnah pada kedua belah pihak adalah batil."7 Tetapi terhadap pernyataan Ibn Taymiyyah ini, penyuntingkitab Iqtidla memberi catatan demikian: "Ini dengan asumsi bahwa ajaran kesufian itu ada kebenaran. Jika tidak, maka sebenarnya ajaran kesufian itu pada dasarnya adalah ciptaan sesudah generasi utama, yang dalam masa generasi itu hidup sebaik-baik umat dan para imam kebenaran pada umat itu. Sesungguhnya Allah, dengan Kitab-Nya dan petunjuk Nabi-Nya s.a.w. telah membuat kaum beriman tidak memerlukan apa yang ada dalam ajaran kesufian, yang dianggap orang mampu melembutkan hati dan membersihkannya."8 Dari kutipan-kutipan itu dapat didasarkan betapapersimpangan jalan antara "kaum kebatinann (ahl al-bawathin)dan "kaum kezahiran" (ahl al-dhawahir) dapat meningkatkepada batas-batas yang cukup gawat. Tetapi benarkah memangantara keduanya tidak terdapat titik pertemuan?
TASAWUF SEBAGAI OLAH RUHANI
Ketika Nabi muhammad s.a.w. disebut sebagai seorang Rasulyang paling berhasil dalam mewujudkan misi sucinya, buktiuntuk mendukung penilaian itu ialah hal-hal yang bersifatsosial-politis, khususnya yang dalam bentuk keberhasilanekspansi-ekspansi militer. Dan Nabi Muhammad s.a.w. samadengan beberapa Nabi yang lain seperti Musa dan Dawud a.s.adalah seorang "Nabi Bersenjata" (Armed Prophet),sebagaimana dikatakan oleh sarjana sosiologi terkenal, MaxWeber. Karena kenyataan itu, ada sementara ahli yang hendakmereduksikan misi Nabi Muhammad s.a.w. sebagai tidak lebihdaripada suatu gerakan reformasi sosial, denganprogram-program seperti pengangkatan martabat kaum lemah(khususnya kaum wanita dan budak), penegakan kekuasaanhukum, usaha mewujudkan keadilan sosial, tekanan kepadapersamaan umat manusia (egalitarisme), dan lain-lain. Dalampandangan serupa itu, Nabi Muhammad s.a.w. tidak bisadisamakan dengan Nabi 'Isa al-Masih, karena ajaran NabiMuhammad tidak banyak mengandung kedalaman keruhanianpribadi. Tetapi Nabi Muhammad s.a.w. lebih mirip dengan NabiMusa a.s. dan para rasul dari kalangan anak turun NabiYa'qub (Isra'il), yang mengajarkan tentang betapa pentingnyaberpegang kepada hukum-hukum Taurat (Talmudic Law). Bahwa Nabi Muhammad s.a.w membawa reformasi sosial yangmonumental kiranya sudah jelas. Al-Qur an sendiri mengaitkankeimanan serta penerimaan seruan Nabi dengan usaha reformasidunia (ishlah al-ardl). Tetapi di berbagai tempat dalamal-Qur an juga disebutkan bahwa tugas reformasi dunia itutidak hanya dipunyai oleh Nabi Muhammad, melainkan juga olehpara nabi yang lain.9 Dan Nabi Muhammad memang telahmelaksanakannya dengan sukses luar biasa. Salah satupengakuan yang jujur dari pihak luar Islam atas sukses Nabidalam membawa reformasi dunia ini ialah yang diberikan olehMichael H. Hart. Dalam bukunya yang memuat urutan peringkatseratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah umatmanusia, Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai manusianomor satu yang paling berpengaruh. Ia menegaskan: "Jatuhnya pilihan saya kepada Nabi Muhammad dalam urutan pertama daftar Seratus Tokoh yang berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sementara pembaca dan mungkin jadi tanda tanya sebagian yang lain. Tapi saya berpegang kepada keyakinan saya, dialah Nabi Muhammad satu-satunya manusia dalam sejarah yang berhasil meraih sukses-sukses luar biasa ditilik dari ukuran agama maupun ruang lingkup duniawi."10 Namun disamping itu al-Qur'an juga banyak menegaskan tentangpentingnya orientasi keruhanian yang bersifat ke dalam danmengarah kepada pribadi. Justru sudah menjadi kesadaran parasarjana Islam sejak dari masa-masa awal bahwa Islam adalahagama pertengahan (wasath) antara, di satu pihak, agamaYahudi yang legalistik dan banyak menekankan orientasikemasyarakatan dan, di pihak lain, agama Kristen yangspiritualistik dan sangat memperhatikan kedalaman olah sertapengalaman rohani serta membuat agama itu lembut. Sepertidikatakan Ibn Taymiyyah, "Syari'ah Taurat didominasi olehketegaran, dan Syari'ah Injil didominasi oleh kelembutan;sedangkan Syari'ah al-Qur an menengahi dan meliputi keduanyaitu."11 Maka sebagai bentuk pertengahan dan sekaligus antara keduaagama pendahuluannya itu, Islam mengandung ajaran-ajaranhukum dengan orientasi kepada masalah-masalah tingkah lakumanusia secara lahiriah seperti pada agama Yahudi, tapi jugamengandung ajaran-ajaran keruhanian yang mendalam sepertipada agama Kristen. Bahkan sesungguhnya antara keduanya itutidak bisa dipisahkan, meskipun bisa dibedakan. Sebab ketikaorang Muslim dituntut untuk tunduk kepada suatu hukumtingkah laku lahiriah, ia diharapkan, malah diharuskan,menerimanya dengan ketulusan yang terbit dari lubuk hatinya.Ia harus merasakan ketentuan hukum itu sebagai sesuatu yangberakar dalam komitmen spiritualnya. Kenyataan ini tercermindalam susunan kitab-kitab fiqh, yang selalu dimulai denganbab pensucian (thaharah) lahir, sebagai awal pensucianbatin. Walaupun begitu, tetap ada kemungkinan orang mengenali manayang lebih lahiriah, dan mana pula yang batiniah.Sebenarnya, sudah sejak zaman Rasulullah s.a.w. sendiri,terdapat kelompok para sahabat Nabi yang lebih tertarikkepada hal-hal yang bersifat lebih batiniah itu.Disebut-sebut, misalnya, kelompok ahl al-shuffah, yaitusejumlah sahabat yang memilih hidup sebagai faqir, dansangat setia kepada masjid. Tidak heran bahwa kelompok ini,dalam literatur kesufian, sering diacu sebagai teladankehidupan saleh dikalangan para sahabat. Al-Qur'an sendiri memuat berbagai firman yang merujuk kepadapengalaman spritual Nabi. Misalnya, lukisan tentang dua kalipengalaman Nabi bertemu dan berhadapan dengan MalaikatJibril dan Allah. Yang pertama ialah pengalaman beliauketika menerima wahyu pertama di gua Hira, di atas BukitCahaya (Jabal Nur). Dan yang kedua ialah pengalaman beliaudengan perjalanan malam (isra ) dan naik ke langit (mi'raj)yang terkenal itu. Kedua pengalaman Nabi itu dilukiskandalam Kitab Suci demikian: Demi bintang ketika sedang tenggelam. Sahabatmu sekalian itutidaklah sesat ataupun menyimpang. Dan ia tidaklah berucapkarena menurut keinginan. Itu tidak lain adalah ajaran yangdiwahyukan. Diajarkan kepadanya oleh Jibril yang kuatperkasa. Yang bijaksana, dan yang telah menampakkan dirisecara sempurna. Yaitu ketika ia berada di puncak cakrawala.Kemudian ia pun mendekati, dan menghampiri. Hingga sejarakkedua ujung busur panah, atau lebih dekat lagi. Lalu Tuhanwahyukan kepada hamba-Nya wahyu yang dikehendaki. Tidaklahjiwa (Nabi) mendustakan yang dilihatnya sendiri. Apakah kamusemua akan membantahnya tentang yang ia saksikan? Padahalsungguh ia telah menyaksikan pada lain kesempatan. Yaitudidekat Pohon Lotus, di alam penghabisan Di sebelahnya adaSurga tempat kediaman. Ketika Pohon Lotus itu diliputicahaya tak terlukiskan. Penglihatan Nabi tidak bergoyah, dantidak pula salah arah. Sungguh ia telah menyaksikantanda-tanda Tuhannya yang Agung tak terkira.12 Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra-Mi'raj ituadalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani. Justru iaadalah pengalaman ruhani yang tertinggi, yang bisa dipunyaioleh seorang Nabi. Namun kaum Sufi berusaha untuk meniru danmengulanginya bagi diri mereka sendiri, dalam dimensi, skaladan format yang sepadan dengan kemampuan mereka. Sebab intipengalaman itu ialah penghayatan yang pekat akan situasidiri yang sedang berada di hadapan Tuhan, dan bagaimana ia"bertemu" dengan Dzat Yang Maha Tinggi itu. "Pertemuan"dengan Tuhan adalah dengan sendirinya juga merupakan puncakkebahagiaan, yang dilukiskan dalam sebuah hadits sebagai"sesuatu yang tak pernah terlihat oleh mata, tak terdengaroleh telinga, dan tak terbetik dalam hati manusia." Sebabdalam "pertemuan" itu, segala rahasia kebenaran "tersingkap"(kasyf) untuk sang hamba, dan sang hamba pun lebur dan sirna(fana ) dalam Kebenaran. Maka Ibn 'Arabi, misalnya,melukiskan "metode" atau thariqah-nya sebagai perjalanan kearah penyingkapan Cahaya Ilahi, melalui pengunduran diri(khalwah) dari kehidupan ramai.13

Friday, December 15, 2006

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF
(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah s.a.w. disebutkan sebagaibersabda bahwa masa kenabian (nubuwwah) dan rahmat akandisusul oleh masa kekhalifahan kenabian (Khilafat nubuwwah)dan rahmat, sesudah itu masa kerajaan (mulk) dan rahmat,kemudian masa kerajaan (saja).1 Ibn Taymiyyah menjelaskanbahwa masa "kenabian dan rahmat" itu ialah, tentu saja, masaNabi sendiri. Sedangkan masa "kekhalifahan kenabian danrahmat" berlangsung selama tiga puluh tahun sesudah wafatNabi s.a.w., yaitu sejak permulaan kekhalifahan Abu Bakr,disusul Umar ibn al-Khathtab, kemudian Utsman ibn 'Affan,dan akhirnya 'Ali ibn Abi Thalib. Mereka adalah parapengganti (khalifah) Nabi yang kelak dikenal sebagai parakhalifah yang berpetunjuk (al-khulafa al-rasyidun).Sedangkan masa para khalifah yang empat itu adalah masa"kerajaan dan rahmat." Dari masa "kerajaan dan rahmat" itu, menurut Ibn Taymiyyah,yang terbaik ialah masa "Raja" Mu'awiyah ibn Abi Sufyan diDamaskus. Ibn Taymiyyah mengatakan bahwa di antara raja-rajatidak ada yang menjalankan kekuasaan sebaik Mu'awiyah.Dialah sebaik-baik raja Islam, dan tindakannya lebih baikdaripada tindakan para raja mana pun sesudahnya.2 Pandangan Ibn Taymiyyah itu khas paham Sunni, terutama darikalangan mazhab Hanbali. Malah, sesungguhnya, apa pun yangterjadi pada Mu'awiyah akan dianggap Ibn Taymiyyah sebagaitidak bisa dipersalahkan begitu saja, karena dia adalahseorang Sahabat Nabi. Lebih jauh, Ibn Taymiyyah masihmempunyai alasan untuk memuji anak Mu'awiyah, yaitu "Raja"Yazid (yang oleh kaum Syi'ah dituding sebagai palingbertanggungjawab atas pembunuhan amat keji terhadapal-Husayn, cucunda Nabi), karena, kata Ibn Taymiyyah, Yazidadalah komandan tentara Islam yang pertama memerangi danmencoba merebut Konstantinopel, sementara sebuah haditsmenyebutkan adanya sabda Nabi: "Tentara pertama yangmenyerbu Konstantinopel diampuni (oleh Allah akan segaladosanya)."3 Tetapi pandangan Ibn Taymiyyah itu berbeda dengan yang adapada banyak kelompok Islam yang lain, termasuk dari kalangankaum Sunni sendiri. Mereka ini berpendapat bahwa Mu'awiyahtanpa mengabaikan jasa-jasa yang telah diperbuatnya- adalahorang yang pertama bertanggung-jawab merubah sistemkekhalifahan yang terbuka (pengangkatan pemimpin tertinggiIslam me]alui pemilihan) menjadi sistem kekhalifahan yangtertutup (pengangkatan pemimpin melalui penunjukan atauwasiat berdasarkan pertalian darah). Ini memang bisa disebutsistem kerajaan seperti dimaksudkan dalam hadits, tetapiMu'awiyah dan para penggantinya, begitu pula para penguasa'Abbasiyah, menyebut diri mereka masing-masing Khalifah(dari Nabi), bukan raja. Namun tetap ada suatu sistem yangadil telah diganti dengan sistem yang kurang adil, jikabukannya yang zalim. Segi keadilan sistem kekhalifahan yang pertama tidak hanyaada dalam mekanisme penggantiannya melalui pemilihan, tetapilebih-lebih lagi mereka itu dalam menjalankan kekuasaan danpemerintahan. Penyebutan para pengganti Nabi yang pertamaitu sebagai "berpetunjuk" (al-rasyidun) adalah terutamaberkenaan dengan kualitas pemerintahan mereka itu.4 Dalam pandangan banyak orang Muslim, pemerintahan masakekhalifahan yang pertama adalah suatu bentuk kesalehan danrasa keagamaan yang mendalam, sedangkan para penguasa BaniUmayyah hanya tertarik kepada kekuasaan itu sendiri saja.Kalaupun tidak begitu tepat untuk masa Mu'awiyah (dan 'Umaribn 'Abd al'Aziz) -sebagaimana argumen untuk Mu'awiyah itutelah dikutip dari Ibn Taymiyyah di atas-penilaian serupaitu jelas dianggap berlaku untuk keseluruhan rezim BaniUmayyah, khususnya sejak kekuasaan Marwan ibn al-Hakam(60-62 H/644-655 M). Apalagi Marwan ini pernah menjabatsebagai pembantu utama Khalifah Utsman ibn 'Affan (22-35H/644-656 M), dan diduga keras berada dibalik beberapakebijakan 'Utsman yang mengundang fitnah besar dalam sejarahIslam itu. Karenanya, sejak saat itu tumbuh oposisikeagamaan kepada rezim Damaskus, tidak saja oleh musuhtradisional kaum Umayyah yang terdiri dari golongan Syi'ahdan Khawarij, tetapi juga oleh golongan Sunnah, yang kaumUmayyah ikut mendukung dan melindungi pertumbuhan awalnya. Wujud oposisi keagamaan terhadap rezim Bani Umayyah itu yangpaling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yangamat saleh, yaitu Hasan dari Basrah (Hasan al-Bashri, wafat728 M). Pada masa kekuasaan Abd al-Malik ibn Marwan(memerintah 685-705 M), Hasan pernah menulis surat kepadaKhalifah, menuntut agar rakyat diberi kebebasan untukmelakukan apa yang mereka anggap baik, sehingga denganbegitu ada tempat bagi tanggung-jawab moral. Suratnya itubernada menggugat praktek-praktek zalim penguasa Umawi.Namun Hasan dibiarkan bebas oleh pemerintah, disebabkanwibawa kepribadiannya yang saleh dan pengaruhnya yang amatbesar kepada masyarakat luas.
TASAWUF SEBAGAI GERAKAN OPOSISI
Tidak dapat dibantah bahwa dari sekian banyak para nabi danrasul, Nabi Muhammad s.a.w. adalah yang paling sukses dalammelaksanakan tugas. Ketika beliau wafat, boleh dikatakanseluruh Jazirah Arabia telah menyatakan tunduk kepadaMadinah. Dan tidak lama setelah itu, di bawah pimpinan parakhalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepatmeluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yangsaat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnyakawasan inti yang terbentang dari Sungai Nil di barat sampaiSungai Amudarya (Oxus) di timur. Sukses luar biasa di bidang militer dan politik itu membawaberbagai akibat yang sangat luas. Salah satunya ialah bahwasejak dari semula terdapat perhatian yang amat besar padakaum Muslim, khususnya para penguasa, pada bidang-bidangyang menyangkut masalah pengaturan masyarakat. Maka tidaklahmengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagianyang paling awal memperoleh banyak penggarapan yang serius,termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialahyang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisisegi hukum dari ajaran agama itu, sehingga pemahaman hukumagama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan agama itusendiri, yaitu "fiqh" (yang makna asalnya ialah"pemahaman"), dan jalan hidup berhukum menjadi identikdengan ke seluruhan jalan hidup yang benar, yaitu "syari'ah"(yang makna asalnya ialah "jalan"). Kata-kata ''syari'ah''itu sebenarnya kurang lebih sama maknanya dengan katakata"sabil," "shirath," "minhaj," "mansak" ("manasik"), "maslak"("suluk") dan "thariqah" yang juga digunakan dalam al-Quran. Sudah tentu hal tersebut tidak seluruhnya salah. Dalam suatumasyarakat yang sering terancam oleh kekacauan (Arab:fawdla, yakni, chaos) karena fitnah-fitnah (dimulai denganpembunuhan 'Utsman), dan jika masyarakat itu meliputi daerahkekuasaan yang sedemikian luas dan heterogennya, kepastianhukum dan peraturan, serta ketertiban dan kemanan, adalahnilai-nilai yang jelas amat berharga. Maka kesalehan punbanyak dinyatakan dalam ketaatan kepada ketentuan hukum, danperlawanan kepada penguasa, khususnya perlawanan yangbersifat keagamaan (pious opposition), juga selalumenyertakan tuntutan agar hukum ditegakkan. Tetapi kesalehan yang bertumpu kepada kesadaran hukum(betapapun ia tidak bisa diabaikan sama sekali karenamempunyai prioritas yang amat tinggi) akan banyak berurusandengan tingkah laku lahiriah manusia dan hanya secaraparsial saja berurusan dengan hal-hai batiniah. Dengankata-kata lain, orientasi fiqh dan syari'ah lebih beratmengarah kepada eksoterisisme, dengan kemungkinanmengabaikan esoterisme yang lebih mendalam. Maka demikian pula gerakan oposisi terhadap praktek-praktekregimenter pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Sebagianbentuk oposisi itu terjadi karena dorongan politik semata,seperti gerakan oposisi orang-orang Arab Irak, karena parapenguasa Damaskus lebih mendahulukan orang-orang Arab Syria.Tetapi sebagian lagi, justru yang lebih umum, oposisi itutimbul karena pandangan bahwa kaum Umawi kurang "relijius."Tokoh Hasan dari Basrah yang telah disebutkan di atasmewakili kelompok gerakan oposisi jenis ini. Ketokohan Hasancukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezimUmayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya dariHasan, yang dianggap pendiri Mu'tazilah (Washil ibn 'Atha,yang dianggap pendiri Mu'tazilah, asalnya adalah muridHasan), begitu pula para 'ulama dengan orientasi Sunni, danorang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud(asketik). Mereka yang tersebut terakhir inilah, sejakmunculnya di Basrah, yang disebut kaum Sufi (Shufi), kononkarena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol (Arab:shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Darikata-kata shuf itu pula terbentuk kata-kata tashawwuf(tasawuf), yaitu, kurang lebih, ajaran kaum Sufi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, Tasawuf tidak lagibersifat terutama sebagai gerakan oposisi politik. Meskipunsemangat melawan atau mengimbangi susunan mapan da]ammasyarakat selalu merupakan ciri yang segera dapat dikenalidari tingkah laku kaum Sufi, tetapi itu terjadi padadasarnya karena dinamika perkembangan gagasan kesufiansendiri, yaitu setelah secara sadar sepenuhnya berkembangmenjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagaihasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi,yaitu perkembangan ketika perhatian paling utama diberikankepada kesadaran yang bersifat masalah historis dan politisumat hanya secara minimal saja.
TARIK-MENARIK ANTARA SYARI'AH DAN THARIQAH
Perpisahan antara kedua orientasi keagamaan yang lahiri danbatini itu kemudian mewujudkan diri dalam divergensisistem-sistem penalaran masing-masing pihak pendukungnya.Maka dalam kedua-duanya kemudian tumbuh cabang ilmuKeislaman yang berbeda satu dari yang lain, bahkan dalambeberapa hal tidak jarang bertentangan. Seolah-olah hendakberebut sumber legitimasi dari al-Qur'an, maka sebagaimanaorientasi keagamaan eksoteris yang bertumpu kepadamasalah-masalah kehukuman itu mengklaim sebagai pahamkeagamaan (fiqh) dan jalan kebenaran (syari'ah) parexcellence, orientasi keagamaan esoteris yang bertumpukepada masalah pengalaman dan kesadaran ruhani pribadi itujuga mengklaim diri sebagai pengetahuan keagamaan (ma'rifah)dan jalan menuju kebahagiaan (thariqah) par excellence.