Thursday, December 21, 2006

DISIPLIN KEILMUAN ISLAM TRADISIONAL: TASAWUF
(Letak dan Peran Mistisisme dalam Penghayatan Keagamaan Islam)
MASALAH KEABSAHAN TASAWUF
Membicarakan keabsahan Tasawuf dapat mengisyaratkanpengambilan sikap penghakiman (judgment) dengan implikasiyang serius, karena menyangkut masalah sampai dimana kitabisa dan berhak menilai pengalaman keruhanian seseorang.Telah disinggung bahwa mistisisme atau pengalaman mistis,tidak terkecuali yang ada pada kaum Sufi, selalu mengarahkedalam, dan dengan sendirinya bersifat pribadi. Oleh karenaitu pengalaman mistis hampir mustahil dikomunikasikan kepadaorang lain, dan selamanya akan lebih merupakan milik pribadisi empunya sendiri. Oleh karena itu sering terjadi adanyatingkah laku eksentrik dan "di luar garis," dan orang lain,lebih-lebih sesama Sufi sendiri, akan memandangnya, denganpenuh pengertian, jika tidak malah kekaguman. Berbagaicerita tentang "wali" yang berkelakuan aneh, seperti banyakterdapat di berbagai negeri dan daerah Islam, adalahkelanjutan dari persepsi mistis ini. Karena itu, bagi mereka yang lebih melihat diri merekasebagai pemegang ajaran standar akan cepat mengutuk tingkahlaku aneh itu sebagai tidak lebih daripada keeksentrikanyang absurd tanpa makna, jika bukannya kesintingan ataubahkan tarikan syetan yang sesat. Kesesatan yang paling gawat, di mata ahl al-dhawahir, ialahyang ada dalam kawasan teori dan pandangan dasar, yangmengarah kepada paham "kesatuan eksistensial" (wahdatal-wujud). Selain berbagai tokoh yang sudah dikenal umum,seperti al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar, penganut danpengembang pandangan itu yang paling kaya namun "liar" ialahIbn 'Arabi. Dalam bukunya, Fushush al-Hikam, Ibn 'Arabiberdendang dalam sebuah syair yang bernada "gurauan" denganTuhan: Maka Ia (Tuhan)-pun memujiku, dan aku memuji-Nya, dan Ia menyembahku, dan aku pun menyembah-Nya. Dalam keadaan lahir aku menyetujui-Nya dan dalam keadaan hakiki aku menentang-Nya. Maka Ia pun mengenaliku namun aku tak mengenali-Nya lalu aku pun mengenali-Nya, maka aku pun menyaksikan-Nya Maka mana mungkin Ia tiada perlu, padahal aku menolong-Nya dan membahagiakan-Nya? Untuk inilah Kebenaran mewujudkan aku, sebab aku mengisi ilmu-Nya dan mewujudkan-Nya Begitulah, sabda telah datang kepada kita, dan telah dinyatakan dalam diriku segala maksudnya.14 Ibn Arabi memang mengaku sebagai "kutub para wali" (quthbal-awliya), bahkan pemungkasnya. Ia dituding oleh para ulamaSyari'ah sebagai yang paling bertanggungjawab ataspenyelewengan-penyelewengan dalam Islam, khususnya yangterjadi di kalangan kaum Sufi. Namun bagi para pengikutnyadia adalah al-syaikh al-akbar (guru yang agung). Kesulitan memahami literatur kesufian, seperti karya-karyaIbn Arabi ialah bahwa pengungkapan ide dan ajaran didalamnyasering menggunakan kata kiasan (matsal) dan pelambang(ramz). Karena itu ungkapan-ungkapan yang ada harus dipahamidalam kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batini(ta'wil). Dan adalah ta'wil itu memang yang menjadi metodepokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Sucimaupun Hadits Nabi. Maka meskipun mereka menggunakan metode ta'wil merekasebenarnya tetap berpegang kepada sumber-sumber suci itu.Hanya saja, sejalan dengan metode mereka, mereka tidakmemahami sumber-sumber itu menurut bunyi lahiriahtekstualnya. Inilah pangkal kontroversi mereka dengan kaumSyari'ah. Maka tidak jarang kaum Syari'ah mengutuk merekasebagai sesat, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyahterhadap Ibn Arabi. Tapi, dalam semangat empatik, mungkin justru pengalamanmistis kaum Sufi harus dipandang sebagai bentuk pengalamankeagamaan yang sejati. Seperti pengalaman Nabi dalam Mi'rajyang tak terlukiskan, sehingga karenanya juga takterkomunikasikan, pengalaman mistis kaum Sufi punsesungguhnya berada di luar kemampuan rasio untukmenggambarkannya. Kaum Sufi gemar mengatakan bahwa untukbisa mengetahui apa hakikat pengalaman itu, seseorang hanyaharus mengalaminya sendiri. Mereka mempunyai perbendaharaanyang kaya untuk melukiskan kenyataan itu. Misalnya, tidakmungkinlah menjelaskan rasa manisnya madu jika orang tidakpernah mencicipinya sendiri. Pengalaman mistis tertinggi menghasilkan situasi kejiwaanyang disebut ekstase. Dalam perbendaharaan kaum Sufi,ekstase itu sering dilukiskan sebagai keadaan mabuk kepayangoleh minuman kebenaran. Kebenaran (al-haqq) digambarkansebagai minuman keras atau khamar. Bahkan untuk sebagianmereka minuman yang memabukkan itu tidak lain ialah apa yangmereka namakan "dlamir al-sya'n," yaitu kata-kata "an" yangberarti "bahwa" dalam kalimat syahadat pertama, Asyhadu anla ilaha illa Llah" (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhanselain Allah). Pelukisan ini untuk menunjukkan betapaintensenya mereka menghayati Tauhid, sehingga mereka tidakmenyadari apa pun yang lain selain Dia Yang Maha Ada. Karena itu, suatu pengalaman mistis mungkin akan hanyasekali terjadi dalam hidup seorang, tanpa bisa diulangi.Inilah diumpamakan dengan turunnya "malam kepastian" (laylatal-qadar), yang dalam al-Qur'an disebutkan sebagai lebihbaik dari seribu bulan. Artinya, seorang yang mengalami satumomen menentukan itu, ia akan terpengaruh oleh pesan yangdibawa seumur hidupnya, yaitu sekitar seribu bulan ataudelapan puluh tahun. Karena itu meskipun suatu pengalamanmistis sebagai suatu kejadian hanya bersifat sesaat(transitory), namun relevansinya bagi pembentukan budipekerti akan bersifat abadi. Sebab dalam pengamalan intensesesaat itu orang berhasil menangkap suatu kebenaran yangutuh. Kesadaran akan kebenaran yang utuh itulah yangmenimbulkan rasa bahagia dan tenteram yang mendalam, suatueuphoria yang tak terlukiskan. Dan itulah kemabukan mistis.Kemudian, suatu hal yang amat penting ialah bahwa euphoriaitu sekaligus disertai dengan kesadaran akan posisi, arti,dan peran diri sendiri yang proporsional, yaitu "tahu diri"(ma'rifat al-nafs)15 yang tidak lebih daripada seorangmakhluk yang harus tunduk-patuh dan pasrah bulat (islam)kepada Sang Maha Pencipta (al-Khaliq). Maka seorang Sufi,karena kepuasannya akan pengetahuan tentang Kebenaran, tidakbanyak menuntut dalam hidup ini. Ia puas (qana'ah) dan lepasdari harapan kepada sesama makhluk. Ia bebas, karena iamerasa perlu (faqir) hanya kepada Allah yang dapat ia temuidi mana saja melalui ibadat dan dzikir. Ia menghayatikehadiran Tuhan dalam hidupnya melalui apresiasi akannama-nama (kualitas-kualitas) Tuhan yang indah (al-asmaal-husna), dan dengan apresiasi itu ia menemukan keutuhandan keseimbangan dirinya Hidup penuh sikap pasrah itu memang bisa mengesankankepasifan dan eskapisme. Tapi sebagai dorongan hidupbermoral, pengalaman mistis kaum Sufi sebetulnya merupakansuatu kedahsyatan. Karena itulah ajaran Tasawuf juga disebutsebagai ajaran akhlak. Dan akhlak yang hendak merekawujudkan ialah yang merupakan "tiruan" akhlak Tuhan, sesuaidengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, "Berakhlaqlahkamu semua dengan akhlaq Allah."

No comments: